Selasa, 27 Januari 2009

Memperingati Maulid Nabi SAW.

Peringatan maulid nabi untuk pertama kalinya dilaksanakan atas
prakarsa Sultan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi (memerintah tahun 1174-1193
Masehi atau 570-590 Hijriah) dari Dinasti Bani Ayyub, yang dalam
literatur sejarah Eropa dikenal dengan nama "Saladin". Meskipun
Salahuddin bukan orang Arab melainkan berasal dari suku Kurdi, pusat
kesultanannya berada di Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah
kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia.

Pada masa itu dunia Islam sedang mendapat serangan-serangan gelombang
demi gelombang dari berbagai bangsa Eropa (Prancis, Jerman, Inggris).
Inilah yang dikenal dengan Perang Salib atau The Crusade. Pada tahun
1099 laskar Eropa merebut Yerusalem dan mengubah Masjid al-Aqsa
menjadi gereja! Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan
(jihad) dan persaudaraan (ukhuwah), sebab secara politis
terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan, meskipun khalifah
tetap satu, yaitu Bani Abbas di Bagdad, sebagai lambang persatuan
spiritual.

Menurut Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali
dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada nabi mereka. Dia
mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad
saw., 12 Rabiul Awal, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa
diperingati, kini dirayakan secara massal. Sebenarnya hal itu bukan
gagasan murni Salahuddin, melainkan usul dari iparnya, Muzaffaruddin
Gekburi, yang menjadi atabeg (semacam bupati) di Irbil, Suriah Utara.
Untuk mengimbangi maraknya peringatan Natal oleh umat Nasrani,
Muzaffaruddin di istananya sering menyelenggarakan peringatan maulid
nabi, cuma perayaannya bersifat lokal dan tidak setiap tahun. Adapun
Salahuddin ingin agar perayaan maulid nabi menjadi tradisi bagi umat
Islam di seluruh dunia dengan tujuan meningkatkan semangat juang,
bukan sekadar perayaan ulang tahun biasa.

Pada mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama, sebab sejak
zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari
raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idulfitri dan
Iduladha. Akan tetapi Salahuddin menegaskan bahwa perayaan maulid nabi
hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang
bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang
terlarang. Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah
An-Nashir di Bagdad, ternyata khalifah setuju. Maka pada ibadah haji
bulan Zulhijjah 579 Hijriyah (1183 Masehi), Sultan Salahuddin
al-Ayyubi sebagai penguasa Haramain (dua tanah suci Mekah dan Madinah)
mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali
ke kampung halaman masing-masing segera menyosialkan kepada masyarakat
Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 Masehi)
tanggal 12 Rabiul-Awwal dirayakan sebagai hari maulid nabi dengan
berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.

Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada
peringatan maulid nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 Hijriah)
adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta
puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh
ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut.
Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far al-Barzanji.
Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering
dibaca masyarakat di kampung-kampung pada peringatan maulid nabi.

Ternyata peringatan maulid nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin
itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi
Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun
kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 Hijriah) Yerusalem direbut
oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjid al-Aqsa menjadi
masjid kembali sampai hari ini.

APAKAH PERLU KITA RAYAKAN ?

Sesungguhnya kewajiban yang asasi yang wajib diyakini oleh seorang muslim bahwa Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama ini dan menyempurnakan nikmat-Nya dengan diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
… اليَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنـَكُمْ وَ أَتــْمـَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمـَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيْنــًا …. المائدة : 3
“…Pada hari ini telah Ku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Maaidah :3).
Oleh sebab itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang ummatnya untuk melakukan perkara-perkara baru dalam agama ini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
وَإِيـَّاكُمْ وَ مُحْدَثــَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثـــَةٍ بِدْعَةٌ وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلـــَةٌ. رواه أبو داود و ابن ماجه
“Jauhilah perbuatan baru (dalam agama), karena setiap perbuatan yang baru itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat” (HSR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Dan kata (Kullu) merupakan salah satu lafadz umum yang mencakup seluruh macam bid’ah tanpa ada pengecualian. Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu berkata “Ikutilah dan janganlah mengada-ngadakan sesuatu hal yang baru karena (syariat ini) telah dicukupkan bagi kalian”.
Dan diantara perkara yang baru adalah Perayaan Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Sejarah Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
Al Hafidz Ibnu Katsir –rahimahullahu- menyebutkan dalam kitab Al-Bidayah wan Nihayah (11/172) bahwa yang mula-mula mengadakan perayan ini adalah Ubaidillah bin Maimun Al-Qidah Al-Yahudy pemerintah di Mesir pada zaman Daulah Faatimiyah Al-‘Ubaidiyah (357-567 H) yang mengadakan berbagai macam perayaan-perayaan dan diantara perayaan tersebut adalah Peringatan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Jadi yang pertama kali mengadakan perayaan ini dari Az-Zanadiqah Al’Ubaidiyun Ar-Rafidhah, keturunan-keturunan orang Yahudi yaitu Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi, dan tidak mungkin yang melakukan hal tersebut adalah orang yang mencintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Hukum Perayaan Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Dalam Islam
Orang yang mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dengan beberapa ‘ibadah yang mana ‘ibadah tersebut tidak ada pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan shahabat maka ‘ibadahnya tertolak dan ia akan menanggung dosa walaupun ia mengikhlaskan diri serta bersungguh-sungguh dalam ‘ibadah tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنــَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ . متفق عليه
“Barangsiapa yang mengada-ngadakan sesuatu dalam urusan (agama) kami, yang tidak diperintahkan atasnya maka hal itu ditolak” (HSR. Bukhari dan Muslim)
Dan melakukan Perayaan Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah termasuk perkara yang dilarang dalam Islam, hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
1. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah melakukannya, begitu pula Khulafaur Raasyidin dan selain mereka dari kalangan shahabat Radhiyallahu ‘Anhum dan orang-orang yang datang setelah mereka dari kalangan Taabi’in dan Atbaa’ut taabi’in. Mereka adalah orang yang lebih mengetahui sunnah dan lebih sempurna kecintaaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan lebih sempurna dalam mengikuti syariat beliau dari pada orang-orang yang datang setelah mereka, dan seandainya peringatan maulid itu hal yang baik maka mereka akan mendahului kita untuk mengamalkan perayaan maulid tersebut .
2. Peringatan tersebut merupakan perbuatan yang menyerupai orang-orang Nasrani yang memperingati kelahiran Isa Al-Masih ‘Alaihissalam sedangkan kita telah dilarang untuk menyerupai orang-orang Nasrani dan mengikuti peringatan-peringatan hari raya mereka, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
مَنْ تــَـشَبــَّـهَ بـــِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ … رواه أبو داود و أحمد
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk didalamnya” (HSR. Abu Daud dan Ahmad)
3. Mereka menganggap bahwa Allah Azza wa Jalla belum menyempurnakan agama ini untuk hamba-Nya dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam belum menyampaikan sesuatu yang sepantasnya diamalkan oleh ummatnya dan para shahabat belum menyampaikan tentang bagaimana cara mengagungkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan mencintai serta menghormati Beliau dengan penghormatan yang semestinya, sebagaimana yang dilakukan orang yang datang setelah mereka.
Dan tidaklah diucapkan perkataan ini atau diyakini kecuali oleh orang-orang Zindiiq (perusak agama Allah Azza wa Jalla), sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah bersabda :
مَابَعَثَ اللهُ مِنْ نـــَبِيٍّ إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمــَّتـــَهُ عَلَى خَيْرٍ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ . رواه مسلم
“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi, melainkan diwajibkan baginya agar menunjukkan kepada ummatnya jalan kebaikan yang diketahuinya kepada mereka” (HSR. Muslim)

Seandainya upacara peringatan maulid itu betul-betul datang dari agama yang diridhai Allah Azza wa Jalla, niscaya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menerangkan kepada ummatnya atau beliau menjalankan semasa hidupnya atau paling tidak dikerjakan oleh para shahabat Radhiayallahu ‘Anhum. Hudzaifah bin Yaman Radhiayallahu ‘Anhu berkata : “Setiap ‘ibadah yang tidak dilakukan oleh shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam maka janganlah kalian melakukannya”
Imam Malik –rahimahullahu- pernah berkata: "Barangsiapa yang melakukan bid'ah dalam Islam dan menganggapnya sebagai bid'ah hasanah (bid'ah yang baik). Maka sungguh ia telah menyangka bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berbuat khianat dalam penyampaian risalah (tidak menyampaikan semua risalah)
4. Menghidupkan malam perayaan tersebut bukan berarti menunjukkan rasa kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, berapa banyak orang yang menghidupkan perayaan ini mereka adalah orang-orang yang jauh dari petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, menganggap remeh shalat dan mereka dikenal sebagai pelaku ma’shiat, dosa dan lain-lain.
Kecintaan yang sebenarnya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah yang sebagaimana yang Allah Azza wa Jalla kehendaki dalam firman-Nya :
قُلْ إِنْ كُنـْتـُمْ تـُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتـَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللهُ …. آل عمران :31
“Katakanlah jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku niscaya Allah mengasihimu….” (QS. Ali Imran : 32)
Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam :
كُلُّكُمْ يــَدْخُلُ الْجَنـَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبــَى . قَالُوْا وَمَنْ َيأْبَى يَارَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : . مَنْ أَطَاعَنِيْ دَخَلَ الْجَنــَّةَ وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدْ أَبـــَى . رواه البخاري
“Setiap kalian akan masuk syurga kecuali yang enggan!” mereka (shahabat) bertanya :”Siapa yang enggan wahai Rasulullah ?” beliau bersabda :”Siapa yang taat kepadaku akan masuk Syurga dan siapa yang berbuat ma’shiat kepadaku maka ia adalah orang yang enggan (HSR. Bukhari).
Jadi, kecintaan yang sebenarnya terhadap beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan cara mengikuti beliau dengan berpegang teguh (konsekuen) kepada petunjuknya baik yang nampak maupun yang tidak tampak dan mengikuti jalannya, dan menjadikannya sebagai tauladan baik dalam ucapan maupun perbuatan serta kelakuan dan akhlaq beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam .
5. Bersamaan dengan ini banyak ‘ulama-‘ulama yang datang belakangan telah menyebutkan kerusakan-kerusakan yang besar dan kemungkaran-kemungkaran yang buruk yang terjadi disebabkan karena perayaan seperti ini, bahkan orang yang ikut dalam perayaan tersebut mengakui akan kerusakan dan kemungkaran tersebut.
Diantaranya adanya ucapan yang menjurus kepada kesyirikan dan mengagung-agungkan secara berlebih lebihan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan adanya campur baur antara laki-laki dan wanita (bukan mahram), pemakaian lagu-lagu dan bunyi-bunyian, minum-minuman yang memabukkan dll. Kemungkaran-kemungkaran ini sulit untuk dibatasi karena satu daerah dengan daerah yang lain memiliki bidah-bidah tersendiri, bahkan sebagian mereka ada yang sampai mengkafirkan siapa yang meninggalkan perayaan maulid tersebut –Naudzu billahi min dzalik-
6. Sesungguhnya hari kelahiran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam merupakan hari wafat beliau juga yaitu pada 12 Rabiul Awwal, lalu mereka bergembira pada hari tersebut –Wallahu musta’an-
Setelah menyimak penjelasan diatas maka tidak ada ucapan yang pantas untuk diucapkan kecuali ucapan : “Janganlah engkau merayakan nya!!!” kita memohon taufiq dan kebenaran kepada Allah Azza wa Jalla.

Semoga kesejahteraan dan keselamatan dilimpahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, keluarganya dan shahabat-shabatnya
-Muhammad Anas Syukur-
Maraji’:
Lembar Da’wah “Hal Nahtafil” terbitan Al Maktab At Ta’awuny Lid Da’wah wal Irsyad -Jeddah-
(Al Fikrah Tahun 1 Edisi 10)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar