Selasa, 27 Januari 2009

HUKUM ZAKAT MENURUT SYARI’AT ISLAM

Zakat sebagai ibadah maliyah sudah disepakati wajib hukumnya baik berdasarkan nash al-Qur’an maupun nash al-Hadits. Zakat merupakan ibadah maliyah yang harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan dalil qath’i, karena pada asalnya di dalam ibadah bathal sehingga ada dalil yang menunjukkan pada perintah (al-Ashl fî al-Ibâdah al-Buthlân hattâ yaqûma dalîl ala al-Amr) sementara perintah untuk menunaikan zakat bersumber kepada al-Qur’an dan al-Hadits. Wajib menurut kerangka jumhur ulama adalah sesuatu yang dituntut oleh agama untuk dikerjakan, sehingga berdosalah bagi orang yang meninggalkannya. Hukum wajib didasarkan pada nash al-Qur’an yang secara eksplisit menunjukkan perintah dan perintah di dalam ibadah berarti wajib hukumnya, sesuai dengan kaidah ushul fiqh bahwa “asal dari perintah menunjukkan wajib”. Para fuqaha menjelaskan wajib zakat kepada beberapa kriteria : Pertama, dari segi waktu, hukum Zakat adalah wajib pelaksanaannya termasuk kategori wajib mudayyaq, yaitu wajib di mana waktu pelaksanaannya dan penunaiannya dibatasi oleh waktu seperti zakat fitrah, sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas berkata : “Bahwa Rasulullah sudah mewajibkan zakat fitrah yang fungsinya untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perkataan keji dan kotor yang dilakukannya sewaktu mereka saum dan untuk menjadi makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikan zakat fitrah itu sebelum shalat Idul Fitri, maka ia diterima sebagai zakat dan barang siapa yang menunaikan zakat fitrah sesudah shalat Idul fitri, maka pemberiannya itu diterima sebagai shadaqah biasa”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).
Kedua, dari segi tertentu atau tidaknya kewajiban yang dituntut, zakat adalah hukumnya termasuk kategori wajib mu’ayyan yaitu kewajiban yang dituntut hanya satu saja, tidak ada pilihan terhadap kewajiban lainnya. Zakat sebagai pilihan satu-satunya yang harus ditunaikan oleh setiap muslim.
Ketiga, dari segi ukuran dan kriteria, zakat termasuk wajib yang sudah ada ketentuan dari agama tentang ukuran. Agama telah menetapkan jenis-jenis harta benda yang terkena zakat, nishab-nya (jumlah harta benda yang terkena zakat), haul-nya (jatuh tempo mengeluarkan zakat) dan juga kadarnya (berapa persen harta benda yang dizakati), seperti untuk zakat emas nishab-nya. Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bahwa nishab emas adalah 20 Misqal setara dengan 85 gr. dan kadar zakat yang harus dikeluarkan 2,5 %, sebagaimana hadits dari Jarir berkata : Rasulullah bersabda : “Tak ada kewajibanmu sesuatu apapun juga, kecuali hingga kamu mempunyai persediaan emas 20 dinar. Apabila engkau mempunyai emas 20 dinar dan sudah sampai setahun, maka zakatnya ½ dinar, maka cara menghitung zakatnya seperti itu.” (HR. Ibn Hazm). Jadi dari hadits di atas diketahui pula zakat yang dikeluarkan itu sebanyak 2, 5 %.
Keempat, dari segi subjek atau siapa yang wajib melakukannya, wajib zakat termasuk wajib ‘aini, yaitu wajib yang ditunjukkan kepada siapa secara individu, sehingga siapa pun yang meninggalkan kewajiban itu berdosa dan akan mendapat hukuman. Hadits menjelaskan bahwa : “Ketika seorang perempuan (bersama anaknya) datang kepada Nabi saw., dan di tangan anaknya ada sepasang gelang emas. Nabi bersabda kepadanya: “Sudahkah engkau berikan zakatnya?”. Orang itu menjawab :”Tidak”. Nabi bersabda kepadanya: “Apakah engkau senang kalau Allah memberimu gelang dari api kelak di hari Kiamat?”. Kemudian perempuan itu melepas gelangnya dan menyerahkannya kepada Nabi saw. Seraya berkata: “Ini hak (untuk) Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Abu daud)
Bagi muslim yang menunaikan zakat dengan benar maka ia akan mendapatkan pahala dan perlindungan dari Allah. Adapun pahala (targib) bagi yang menunaikan zakat dapat dilihat dari penjelasan baik al-Qur’an maupun al-Hadits. Pertama, pertolongan dari Allah. Bagi muslim yang menunaikan zakat berarti secara kemanusiaan memperhatikan kondisi sesama muslim, maka Allah akan memberikan pertolongan kepada muslim (muzakki) baik di dunia maupun di akhirat kelak, tersebut dalam hadits bahwa Rasulullah bersabda : “Dan Allah akan menolong seorang hamba yang selalu menolong muslim saudaranya” (HR. Muttafaq alaih). Kedua, mencapai kebaikan tertinggi di sisi Allah. Muslim yang taat dan melaksanakan perintah Allah dengan cara membayar Zakat maka ia akan mencapai kebaikan tertinggi, “Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum kamu menginfakkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu infakkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (QS. Ali Imran 92). Ketiga, pencapaian kehormatan di sisi Allah. Muzakki akan mencapai kehormatan baik di dunia maupun di akhirat karena menjalankan fungsi kekhalifahannya dengan baik, sehingga derajatnya ditinggikan, dalam hadits dinyatakan : Bahwa Rasulullah bersabda : “Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah dan sebaik-baiknya pemberian di waktu ia berkecukupan. Dan siapa yang menjaga kehormatannya maka Allah akan menjaganya serta siapa yang memberi kecukupan kepada orang lain, maka Allah Akan mencukupkannya.”. Keempat, pertemuan dengan Allah di Surga. Jaminan Allah kepada muslim yang menunaikan zakat adalah kebahagiaan sejati ketika bertemu dengan Allah dan ditempatkan di Surga yang abadi, Allah SWT berfirman dalam QS. Ar-Rum: 39: “…dan apa yang kalian berikan berupa zakat untuk mencari dan berharap keridhaan Allah, maka yang berbuat demikian itulah orang-orang yang melipatgandakan pahalanya.” Kemudian dijelaskan dalam hadits dari Abu Hurairah, dia berkata: “Bahwa seorang dari bangsa Arab datang menemui Nabi SAW., dan bertanya, “wahai Rasululullah, tunjukkanlah kepada saya berbagai amal yang jika saya memenuhinya saya akan bisa masuk surga”. Kemudian Rasulullah saw. Bersabda : “Beribadahlah engkau kepada Allah dan jangan menyekutukannya sedikit pun. Lakukanlah shalat dan tunaikanlah zakat fardhu, dan puasalah di bulan Ramadhan”. Rasulullah bersabda lagi, “Demi Allah yang diriku berada pada kekuasaan-Nya, saya tidak akan menambah dari ini. Dan barangsiapa yang hendak melihat calon penghuni surga, lihatlah orang-orang yang memenuhi tuntutan amalaiah ini.” (HR. Al-Bukhari).
Sebaliknya, bagi orang-orang yang mengingkari dan mengabaikan kewajiban zakat, maka bagi mereka mendapat peringatan (takhdir) dan siksaan (azab) di akhirat. Untuk penjelasan lebih rinci tentang ancaman bagi yang tidak patuh pada perintah Allah dijelaskan baik oleh nash al-Qur’an maupun al-Hadits sebagai berikut : pertama, posisi yang tidak menguntungkan yaitu derajat kehinaan dan kebinasaan, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah : 195 : “ Dan belanjakanlah harta bendamu di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. Kedua, dipersamakan dengan perilaku Yahudi dan Nasrani. Para pengingkar dan penolak untuk menunaikan zakat sama seperti halnya orang-orang Yahudi dan Nasrani yang memakan harta dengan cara bathil dan menghalangi orang di jalan Allah. Termaktub di dalam QS. Al-Taubah: 34 : “Hai orang-orang yang beriman ! Sungguh banyak di antara pendeta-pendeta dan rahib-rahib yang memakan harta orang dengan jalan bathil dan merintangi orang dari jalan Allah. Dan orang yang menimbun emas dan perak dan tiada menafkahkannya di jalan Allah, berilah mereka peringatan tentang azab yang pedih.” Ketiga, kedudukannya di neraka sebagai ganjarannya. Peringatan ini dijelaskan dalam hadits bahwa Rasululullah bersabda: “Apakah engkau senang kalau Allah memberimu gelang dari api neraka di hari kiamat ?”. Orang yang tidak menunaikan zakat berarti dia telah melakukan kedzaliman dan kezaliman mengantarkannya kepada api neraka yang tidak ada penolong baginya, sesuai dengan QS. Al-Baqarah: 270 : “apa saja yang kamu infakkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Orang-orang yang berbuat zalim tidak ada seorang penolong baginya.
Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa zakat hukumnya wajib dan implikasi wajib adalah pahala dan syurga bagi yang menunaikannya dan siksaan dan neraka bagi yang menolak dan mengingkari perintah Allah SWT. Dengan penjelasan singkat tentang kewajiban zakat ini semoga semakin menyadarkan betapa pentingnya menunaikan zakat baik hubungannya dengan Allah, hubungan dengan dirinya, hartanya maupun hubungannya dengan kemanusiaan. Tentu saja kewajiban zakat ini jika dilaksanakan dengan baik akan membangun tatanan kehidupan yang seimbang, harmonis di dunia dan untuk mencapai kebahagiaan hakiki di akhirat kelak (Dr. H. Ahmad Hasan Ridwan, M.Ag.)

Valentine Day

SEJARAH VALENTINE DAY

Sesungguhnya, belum ada kesepakatan final di antara para sejarawan
tentang apa yang sebenarnya terjadi yang kemudian diperingati sebagai
hari Valentine. Dalam buku ‘Valentine Day, Natal, Happy New Year, April
Mop, Hallowen: So What?” (Rizki Ridyasmara, Pusaka Alkautsar, 2005),
sejarah Valentine Day dikupas secara detil. Inilah salinannya:

Ada banyak versi tentang asal dari perayaan Hari Valentine ini. Yang
paling populer memang kisah dari Santo Valentinus yang diyakini hidup
pada masa Kaisar Claudius II yang kemudian menemui ajal pada tanggal 14
Februari 269 M. Namun ini pun ada beberapa versi. Yang jelas dan tidak
memiliki silang pendapat adalah kalau kita menelisik lebih jauh lagi ke
dalam tradisi paganisme (dewa-dewi) Romawi Kuno, sesuatu yang dipenuhi
dengan legenda, mitos, dan penyembahan berhala.

Menurut pandangan tradisi Roma Kuno, pertengahan bulan Februari memang
sudah dikenal sebagai periode cinta dan kesuburan. Dalam tarikh kalender
Athena kuno, periode antara pertengahan Januari dengan pertengahan
Februari disebut sebagai bulan Gamelion, yang dipersembahkan kepada
pernikahan suci Dewa Zeus dan Hera.

Di Roma kuno, 15 Februari dikenal sebagai hari raya Lupercalia, yang
merujuk kepada nama salah satu dewa bernama Lupercus, sang dewa
kesuburan. Dewa ini digambarkan sebagai laki-laki yang setengah telanjang
dan berpakaian kulit kambing.

Di zaman Roma Kuno, para pendeta tiap tanggal 15 Februari akan melakukan
ritual penyembahan kepada Dewa Lupercus dengan mempersembahkan korban
berupa kambing kepada sang dewa.
Setelah itu mereka minum anggur dan akan lari-lari di jalan-jalan dalam
kota Roma sambil membawa potongan-potongan kulit domba dan menyentuh
siapa pun yang mereka jumpai. Para perempuan muda akan berebut untuk
disentuh kulit kambing itu karena mereka percaya bahwa sentuhan kulit
kambing tersebut akan bisa mendatangkan kesuburan bagi mereka. Sesuatu
yang sangat dibanggakan di Roma kala itu.

Perayaan Lupercalia adalah rangkaian upacara pensucian di masa Romawi
Kuno yang berlangsung antara tanggal 13-18 Februari, di mana pada tanggal
15 Februari mencapai puncaknya. Dua hari pertama (13-14 Februari),
dipersembahkan untuk dewi cinta (Queen of Feverish Love) bernama Juno
Februata.

Pada hari ini, para pemuda berkumpul dan mengundi nama-nama gadis di
dalam sebuah kotak. Lalu setiap pemuda dipersilakan mengambil nama secara
acak. Gadis yang namanya ke luar harus menjadi kekasihnya selama setahun
penuh untuk bersenang-senang dan menjadi obyek hiburan sang pemuda yang
memilihnya.

Keesokan harinya, 15 Februari, mereka ke kuil untuk meminta perlindungan
Dewa Lupercalia dari gangguan serigala. Selama upacara ini, para lelaki
muda melecut gadis-gadis dengan kulit binatang. Para perempuann itu
berebutan untuk bisa mendapat lecutan karena menganggap bahwa kian banyak
mendapat lecutan maka mereka akan bertambah cantik dan subur.

Ketika agama Kristen Katolik masuk Roma, mereka mengadopsi upacara
paganisme (berhala) ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani. Antara
lain mereka mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor.
Di antara pendukungnya adalah Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I.

Agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius
I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan
nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati Santo Valentine yang
kebetulan meninggal pada tanggal 14 Februari.

Tentang siapa sesungguhnya Santo Valentinus sendiri, seperti telah
disinggung di muka, para sejarawan masih berbeda pendapat. Saat ini
sekurangnya ada tiga nama Valentine yang meninggal pada 14 Februari.
Seorang di antaranya dilukiskan sebagai orang yang mati pada masa Romawi.
Namun ini pun tidak pernah ada penjelasan yang detil siapa sesungguhnya
“St. Valentine” termaksud, juga dengan kisahnya yang tidak pernah
diketahui ujung-pangkalnya karena tiap sumber mengisahkan cerita yang
berbeda.

Menurut versi pertama, Kaisar Claudius II yang memerintahkan Kerajaan
Roma berang dan memerintahkan agar menangkap dan memenjarakan Santo
Valentine karena ia dengan berani menyatakan tuhannya adalah Isa
Al-Masih, sembari menolak menyembah tuhan-tuhannya orang Romawi.
Orang-orang yang bersimpati pada Santo Valentine lalu menulis surat dan
menaruhnya di terali penjaranya.

Versi kedua menceritakan, Kaisar Claudius II menganggap tentara muda
bujangan lebih tabah dan kuat di dalam medan peperangan daripada orang
yang menikah. Sebab itu kaisar lalu melarang para pemuda yang menjadi
tentara untuk menikah. Tindakan kaisar ini diam-diam mendapat tentangan
dari Santo Valentine dan ia secara diam-diam pula menikahkan banyak
pemuda hingga ia ketahuan dan ditangkap. Kaisar Cladius memutuskan
hukuman gantung bagi Santo Valentine. Eksekusi dilakukan pada tanggal 14
Februari 269 M.

Merayakan Valentine Day, Berarti Ikut Menuhankan Yesus
Di hari-hari ini, sesekali pergilah ke mall atau supermarket besar yang ada di kota Anda. Lihatlah interior mall atau supermarket tersebut. Anda pasti menjumpai interiornya dipenuhi pernak-pernik—apakah itu berbentuk pita, bantal berbentuk hati, boneka beruang, atau rangkaian bunga—yang didominasi dua warna: pink dan biru muda.
Dan Anda pasti mafhum, sebentar lagi kebanyakan anak-anak muda seluruh dunia akan merayakan Hari Kasih Sayang atau yang lebih tenar distilahkan dengan Valentine Day.
Momentum ini sangat disukai anak-anak remaja, terutama remaja perkotaan. Karena di hari itu, 14 Februari, mereka terbiasa merayakannya bersama orang-orang yang dicintai atau disayanginya, terutama kekasih. Valentine Day memang berasal dari tradisi Kristen Barat, namun sekarang momentum ini dirayakan di hampir semua negara, tak terkecuali negeri-negeri Islam besar seperti Indonesia.

Sayangnya, tidak semua anak-anak remaja memahami dengan baik esensi dari Valentine Day. Mereka menganggap perayaan ini sama saja dengan perayaan-perayaan lain seperti Hari Ibu, Hari Pahlawan, dan sebagainya. Padahal kenyataannya sama sekali berbeda.
Hari Ibu, Hari Pahlawan, dan semacamnya sedikit pun tidak mengandung muatan religius. Sedangkan Valentine Day sarat dengan muatan religius, bahkan bagi orang Islam yang ikut-ikutan merayakannya, hukumnya bisa musyrik, karena merayakan Valentine Day tidak bisa tidak berarti juga ikut mengakui Yesus sebagai Tuhan. Naudzubilahi min Dzalik. Mengapa demikian?

TRADISI KIRIM KARTU

Selain itu, tradisi mengirim kartu Valentine itu sendiri tidak ada kaitan langsung dengan Santo Valentine. Pada tahun 1415 M, ketika Duke of Orleans dipenjara di Tower of London, pada perayaan hari gereja mengenang St. Valentine tanggal 14 Februari, ia mengirim puisi kepada isterinya di Perancis.
Oleh Geoffrey Chaucer, penyair Inggris, peristiwa itu dikaitkannya dengan musim kawin burung-burung dalam puisinya.

Lantas, bagaimana dengan ucapan “Be My Valentine?” yang sampai sekarang masih saja terdapat di banyak kartu ucapan atau dinyatakan langsung oleh pasangannya masing-masing? Ken Sweiger mengatakan kata “Valentine” berasal dari bahasa Latin yang mempunyai persamaan dengan arti: “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat, dan Yang Maha Kuasa”. Kata ini sebenarnya pada zaman Romawi Kuno ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, tuhan orang Romawi.

Disadari atau tidak, demikian Sweiger, jika seseorang meminta orang lain atau pasangannya menjadi “To be my Valentine?”, maka dengan hal itu sesungguhnya kita telah terang-terangan melakukan suatu perbuatan yang dimurkai Tuhan, istilah Sweiger, karena meminta seseorang menjadi “Sang Maha Kuasa” dan hal itu sama saja dengan upaya menghidupkan kembali budaya pemujaan kepada berhala.
Adapun Cupid (berarti: the desire), si bayi atau lelaki rupawan setengah telanjang yang bersayap dengan panah adalah putra Nimrod “the hunter” dewa Matahari. Disebut tuhan Cinta, karena ia begitu rupawan sehingga diburu banyak perempuan bahkan dikisahkan bahwa ibu kandungnya sendiri pun tertarik sehingga melakukan incest dengan anak kandungnya itu!

Silang sengketa siapa sesungguhnya Santo Valentine sendiri juga terjadi di dalam Gereja Katolik sendiri. Menurut gereja Katolik seperti yang ditulis dalam The Catholic Encyclopedia (1908), nama Santo Valentinus paling tidak merujuk pada tiga martir atau santo (orang suci) yang berbeda, yakni: seorang pastur di Roma, seorang uskup Interamna (modern Terni), dan seorang martir di provinsi Romawi Afrika. Koneksi antara ketiga martir ini dengan Hari Valentine juga tidak jelas.
Bahkan Paus Gelasius II, pada tahun 496 menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada yang diketahui secara pasti mengenai martir-martir ini, walau demikian Gelasius II tetap menyatakan tanggal 14 Februari tiap tahun sebagai hari raya peringatan Santo Valentinus.

Ada yang mengatakan, Paus Gelasius II sengaja menetapkan hal ini untuk menandingi hari raya Lupercalia yang dirayakan pada tanggal 15 Februari.
Sisa-sisa kerangka yang digali dari makam Santo Hyppolytus di Via Tibertinus dekat Roma, diidentifikasikan sebagai jenazah St. Valentinus. Jenazah itu kemudian ditaruh dalam sebuah peti emas dan dikirim ke Gereja Whitefriar Street Carmelite Church di Dublin, Irlandia. Jenazah ini telah diberikan kepada mereka oleh Paus Gregorius XVI pada 1836.

Banyak wisatawan sekarang yang berziarah ke gereja ini pada hari Valentine, di mana peti emas diarak dalam sebuah prosesi khusyuk dan dibawa ke sebuah altar tinggi di dalam gereja. Pada hari itu, sebuah misa khusus diadakan dan dipersembahkan kepada para muda-mudi dan mereka yang sedang menjalin hubungan cinta. Hari raya ini dihapus dari kalender gerejawi pada tahun 1969 dengan alasan sebagai bagian dari sebuah usaha gereja yang lebih luas untuk menghapus santo dan santa yang asal-muasalnya tidak bisa dipertanggungjawabkan karena hanya berdasarkan mitos atau legenda. Namun walau demikian, misa ini sampai sekarang masih dirayakan oleh kelompok-kelompok gereja tertentu.
Jelas sudah, Hari Valentine sesungguhnya berasal dari mitos dan legenda zaman Romawi Kuno di mana masih berlaku kepercayaan paganisme (penyembahan berhala). Gereja Katolik sendiri tidak bisa menyepakati siapa sesungguhnya Santo Valentine yang dianggap menjadi martir pada tanggal 14 Februari. Walau demikian, perayaan ini pernah diperingati secara resmi Gereja Whitefriar Street Carmelite Church di Dublin, Irlandia dan dilarang secara resmi pada tahun 1969. Beberapa kelompok gereja Katolik masih menyelenggarakan peringatan ini tiap tahunnya.

KEPENTINGAN BISNIS

Kalau pun Hari Valentine masih dihidup-hidupkan hingga sekarang, bahkan ada kesan kian meriah, itu tidak lain dari upaya para pengusaha yang bergerak di bidang pencetakan kartu ucapan, pengusaha hotel, pengusaha bunga, pengusaha penyelenggara acara, dan sejumlah pengusaha lain yang telah meraup keuntungan sangat besar dari event itu.

Mereka sengaja, lewat kekuatan promosi dan marketingnya, meniup-niupkan Hari Valentine Day sebagai hari khusus yang sangat spesial bagi orang yang dikasihi, agar dagangan mereka laku dan mereka mendapat laba yang amat sangat besar. Inilah apa yang sering disebut oleh para sosiolog sebagai industrialisasi agama, di mana perayaan agama oleh kapitalis dibelokkan menjadi perayaan bisnis.

PESTA KEMAKSIATAN

Christendom adalah sebutan lain untuk tanah-tanah atau negeri-negeri Kristen di Barat. Awalnya hanya merujuk pada daratan Kristen Eropa seperti Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, dan sebagainya, namun dewasa ini juga merambah ke daratan Amerika.
Orang biasanya mengira perayaan Hari Valentine berasal dari Amerika. Namun sejarah menyatakan bahwa perayaan Hari Valentine sesungguhnya berasal dari Inggris. Di abad ke-19, Kerajaan Inggris masih menjajah wilayah Amerika Utara. Kebudayaan Kerajaan inggris ini kemudian diimpor oleh daerah koloninya di Amerika Utara.

Di Amerika, kartu Valentine pertama yang diproduksi secara massal dicetak setelah tahun 1847 oleh Esther A. Howland (1828 – 1904) dari Worcester, Massachusetts. Ayahnya memiliki sebuah toko buku dan toko peralatan kantor yang besar. Mr. Howland mendapat ilham untuk memproduksi kartu di Amerika dari sebuah kartu Valentine Inggris yang ia terima. Upayanya ini kemudian diikuti oleh pengusaha-pengusaha lainnya hingga kini.

Sejak tahun 2001, The Greeting Card Association (Asosiasi Kartu Ucapan AS) tiap tahun mengeluarkan penghargaan "Esther Howland Award for a Greeting Card Visionary" kepada perusahaan pencetak kartu terbaik.
Sejak Howland memproduksi kartu ucapan Happy Valentine di Amerika, produksi kartu dibuat secara massal di selutuh dunia. The Greeting Card Association memperkirakan bahwa di seluruh dunia, sekitar satu milyar kartu Valentine dikirimkan per tahun. Ini adalah hari raya terbesar kedua setelah Natal dan Tahun Baru (Merry Christmast and The Happy New Year), di mana kartu-kartu ucapan dikirimkan. Asosiasi yang sama juga memperkirakan bahwa para perempuanlah yang membeli kurang lebih 85% dari semua kartu valentine.

Mulai pada paruh kedua abad ke-20, tradisi bertukaran kartu di Amerika mengalami diversifikasi. Kartu ucapan yang tadinya memegang titik sentral, sekarang hanya sebagai pengiring dari hadiah yang lebih besar. Hal ini sering dilakukan pria kepada perempuan. Hadiah-hadiahnya bisa berupa bunga mawar dan coklat. Mulai tahun 1980-an, industri berlian mulai mempromosikan hari Valentine sebagai sebuah kesempatan untuk memberikan perhiasan kepada perempuan pilihan.

Di Amerika Serikat dan beberapa negara Barat, sebuah kencan pada hari Valentine sering ditafsirkan sebagai permulaan dari suatu hubungan yang serius. Ini membuat perayaan Valentine di sana lebih bersifat ‘dating’ yang sering di akhiri dengan tidur bareng (perzinaan) ketimbang pengungkapan rasa kasih sayang dari anak ke orangtua, ke guru, dan sebagainya yang tulus dan tidak disertai kontak fisik. Inilah sesungguhnya esensi dari Valentine Day.
Perayaan Valentine Day di negara-negara Barat umumnya dipersepsikan sebagai hari di mana pasangan-pasangan kencan boleh melakukan apa saja, sesuatu yang lumrah di negara-negara Barat, sepanjang malam itu. Malah di berbagai hotel diselenggarakan aneka lomba dan acara yang berakhir di masing-masing kamar yang diisi sepasang manusia berlainan jenis. Ini yang dianggap wajar, belum lagi party-party yang lebih bersifat tertutup dan menjijikan.

IKUT MENGAKUI YESUS SEBAGAI TUHAN

Tiap tahun menjelang bulan Februari, banyak remaja Indonesia yang notabene mengaku beragama Islam ikut-ikutan sibuk mempersiapkan perayaan Valentine. Walau sudah banyak di antaranya yang mendengar bahwa Valentine Day adalah salah satu hari raya umat Kristiani yang mengandung nilai-nilai akidah Kristen, namun hal ini tidak terlalu dipusingkan mereka. “Ah, aku kan ngerayaain Valentine buat fun-fun aja…, ” demikian banyak remaja Islam bersikap. Bisakah dibenarkan sikap dan pandangan seperti itu?

Perayaan Hari Valentine memuat sejumlah pengakuan atas klaim dogma dan ideologi Kristiani seperti mengakui “Yesus sebagai Anak Tuhan” dan lain sebagainya. Merayakan Valentine Day berarti pula secara langsung atau tidak, ikut mengakui kebenaran atas dogma dan ideologi Kristiani tersebut, apa pun alasanya.

Nah, jika ada seorang Muslim yang ikut-ikutan merayakan Hari Valentine, maka diakuinya atau tidak, ia juga ikut-ikutan menerima pandangan yang mengatakan bahwa “Yesus sebagai Anak Tuhan” dan sebagainya yang di dalam Islam sesungguhnya sudah termasuk dalam perbuatan musyrik, menyekutukan Allah SWT, suatu perbuatan yang tidak akan mendapat ampunan dari Allah SWT. Naudzubillahi min dzalik!
“Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut, ” Demikian bunyi hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Tirmidzi.

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah juga berkata, “Memberi selamat atas acara ritual orang kafir yang khusus bagi mereka, telah disepakati bahwa perbuatan tersebut haram. Semisal memberi selamat atas hari raya dan puasa mereka, dengan mengucapkan, “Selamat hari raya!” dan sejenisnya. Bagi yang mengucapkannya, kalau pun tidak sampai pada kekafiran, paling tidak itu merupakan perbuatan haram. Berarti ia telah memberi selamat atas perbuatan mereka yang menyekutukan Allah. Bahkan perbuatan tersebut lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai dari pada memberi selamat atas perbuatan minum khamar atau membunuh. Banyak orang yang kurang mengerti agama terjerumus dalam suatu perbuatan tanpa menyadari buruknya perbuatan tersebut. Ia telah menyiapkan diri untuk mendapatkan kemarahan dan kemurkaan Allah. ”
Allah SWT sendiri di dalam Qur’an surat Al-Maidah ayat 51 melarang umat Islam untuk meniru-niru atau meneladani kaum Yahudi dan Nasrani, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." Wallahu'alam bishawab.(Rz)

Gerhana

Oleh: KH. Emon Sastranegara

Alhamdulillah kita panjatkan puji dan syukur kepada pencipta kita, khaliq, dan ma'bud kita bahwa sampai saat ini kita masih diberi kesempatan oleh Allah Swt., untuk memenuhi seruan Rasulullah Saw., di saat terjadi gerhana untuk bertakbir, istighfar, shalat dan bershadaqah, sebagai implementasi dari sunnah Rasulullah Saw.

Kalaulah saat ini Allah Swt., menghancurkan bumi ini melalui gerhana,
kita sedang beribadah kepada-Nya. Karena kiamat itu datangnya tiba-tiba tidak ada tanda-tanda sebelumnya.

Kita pernah diingatkan di suatu negara yang bernama Italia, gunung yang meletus dengan tidak memberikan tanda-tanda sebelumnya. Debu-debu dan lahar panas menimpa pada penduduk yang ada di bawahnya. Sehingga sampai sekarang bekas letusan itu terekam dari gambaran manusia yang menjadi posil dalam keadaan bermacam-macam; ada seorang ibu sedang memeluk anaknya, seorang suami tengah bercengkrama dengan istrinya, dua orang remaja yang tengah berjina, bermaksiat kepada Allah Swt. Dan andai kata Allah Swt., mentakdirkan saat gerhana ini kiamat tiba, akhir hidup kita dalam keadaan husnul khatimah, kita dalam keadaan sedang berserah diri kepada Allah Swt. Hal inilah yang patut kita syukuri pada saat ini kita bisa berkumpul di tempat yang mulia ini.

Gerhana itu ada dua macam; gerhana bulan dan gerhana matahari. Gerhana yang terjadi pada saat ini (Selasa, 28 Agustus 2007) adalah gerhana bulan. Ada dua istilah dalam hadits yaitu kusuf dan khusuf, istilah yang sewaktu-waktu berbeda namun sewaktu-waktu sama. Berbeda sebab peristiwanya pun berbeda. Kusuf adalah gerhana matahari sedangkan khusuf adalah gerhana bulan. Kusuf menurut bahasa berarti At-Tagyir (suatu perubahan dari putih yang mengeluarkan cahaya menjadi hitam). Sementara khusuf berarti An-Nuqson (berkurang cahaya). Dan keduanya disyariatkan untuk bertakbir, istighfar, shalat dan bershadaqah.

Tentang hal ini bisa kita perhatikan dalam sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang bersumber dari seorang saha-bat Rasulullah yang bernama Al-Mughi-rah bin Syu'bah. “Pernah terjadi gerhana matahari di zaman Rasulullah Saw yang kebetulan berbarengan dengan wafatnya putra Rasulullah yang bernama Ibrahim. (Tahun ke-10 H). Orang-orang berkata, ter-jadinya gerhana matahari itu karena kema-tian Ibrahim. Rasulullah Saw bersabda, se-sungguhnya matahari dan bulan dua tanda-tanda kekuasaan Allah Swt, tidak terjadi gerhana itu karena kematian atau pun ka-rena lahirnya seseorang. Apabila kalian me-lihat dua peristiwa itu maka berdo'alah kepa-da Allah Swt., dan hendaklah melaksanakan shalat sehingga gerhana itu selesai.”

Dalam hadits lain yang bersumber dari Aisyah r.a., Ketika terjadi gerhana pada zaman Rasulullah Saw., Beliau shalat mengimami orang-orang lalu berkhutbah memuji dan menyanjung Allah dan bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bu-lan adalah dua tanda diantara tanda-tanda kekuasaan Allah, gerhana itu tidak terjadi lantaran kematian atau pun kelahiran seseorang, jika kalian menyaksikan gerhana maka berdo’alah kepada Allah, bertakbir, shalat dan bershadaqahlah. Lalu beliau bersabda, demi Allah seandainya kalian mengetahui yang aku ketahui niscaya kalian akan menyedikitkan tertawa dan memperbanyak tangis.”

Bershadaqah dalam artian sebagaimana kemampuan kita. Rasulullah bersabda, “Senyummu kepada saudaramu merupakan shadaqah.” Memasang wajah yang ramah dengan senyuman saat bertemu dengan saudara kita sesama muslim merupakan suatu nilai shadaqah. Bahkan dalam hadits lain disebutkan, “Kullu ma'ruufin shadaqah.” Setiap kebaikan itu adalah shadaqah. Tidak bisa dengan harta, dengan senyuman atau dengan tenaga untuk membantu saudara kita.

Kita perhatikan dalam pelaksanakan ibadah shalat kusuf dan khusuf itu ternyata Rasulullah membedakan dengan shalat-shalat yang lain sebagaimana Rasulullah membedakan ketika shalat jenazah yang tanpa ruku' dan sujud. Rasulullah melaksanakan shalat kusuf dan khusuf empat ruku dan empat sujud dalam dua raka'at.

Dalam Alquran matahari dinamakan An-Nuur sedang bulan disebut Ad-Dhiya`. Karena An-Nuur merupakan sumber cahaya sedang bulan hanya memantulkan cahaya. Matahari merupakan ciptaan Allah yang begitu hebat. Milyaran manusia menikmati sinar matahari. Pernahkah kita berpikir untuk mengsyukuri cahaya matahari? Atau berpikir untuk membayar kepada Allah atas jasa cahaya matahari sebagaimana kita membayar listrik? Kalaulah kita diperintahkan untuk membayar, tentu saja kita tidak akan mampu membayarnya. Allah cukup memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya sebagai tanda syukur kita atas segala ni'mat yang telah Allah anugerahkan kepada kita.

Dua kejadian yang amat langka ini kita catat dalam pikiran dan hati kita. Apa yang kita harapkan dari peristiwa ini sebagaimana Rasulullah Saw., menyatakan mudah-mudahan karya dan pekerjaan kita ujung-ujungnya itu Allah mengampuni terhadap dosa-dosa kita. Kenapa itu yang diharapkan dan kenapa itu yang diungkapkan Rasulullah Saw? Dan kenapa dalam suatu kesempatan Rasulullah dalam khutbahnya selalu mengulangi kalimat-kalimat, “Nahmaduhu wa nasta'inuhu wa nastaghfiruhu.” Karena Rasulullah ingin memberikan makna hidup dan kehidupan; pertama, dasarilah hidup kita dengan tauhid kepada Allah, betapapun jika kekuasaan ada tapi jika tidak iman kepada Allah menjadi nol seperti halnya Fir'aun yang mempunyai kekuasaan, Hamman selaku perdana menteri Fir'aun yang berkuasa, Qarun yang berharta banyak tapi oleh Allah dijadikan penghuni-penghuni neraka jahanam yang kekal abadi karena tidak bertauhid kepada Allah Swt. Kedua, -nasta'inuhu- kita memohon pertolongan Allah Swt yang berarti Rasulullah memerintahkan untuk senantiasa bekerja dan berkarya karena memohon pertolongan itu dilakukan ketika telah bekerja dan tidak mampu melaksanakannya atau tidak bisa melaksanakannya sendiri. Ketiga, -nastahgfiruhu- karena ujung pekerjaan kita adalah mengharapkan surga. Kita memohon ampun kepada Allah Swt sebagai akhir dari perjalanan hidup kita.

Dalam rangka kita melaksanakan sunnah Rasulullah ketika terjadi gerhana ini, sekaligus mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang diijabah do'a, karena (pertama) kita menyempurnakan wudlu di saat sulitnya air dan di saat musim dingin. Dan banyak melakukan perjalanan ke masjid-masjid karena jarak yang jauh. Ketiga menanti kedatangan waktu shalat yang akan datang (antara Maghrib dan Isya). Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang diijabah do'a dan diampuni dosa oleh Allah Swt.***

Berkacalah Pada Sejarah

Siapa belajar sejarah, akan meningkat potensi kesadarannya. Demikian pesan Imam Al-Akbar, Imam Syafii dalam ‘Aja-ib Al-Atsar. Sejarah termasuk salah satu ilmu tertua. Kata sejarah sendiri berasal dari bahasa Arab syajaratun, yang berarti pohon. Pohon dalam konteks ini tertuang pada metodologi ilmu sejarah ketika menjabarkan atau merekamkan sebuah riwayat, yang lazim disebut historiografi. Historiografi, yang awalnya sebatas penulisan sejarah para raja, cakupannya kemudian berkembang luas hingga merambah pada tataran budaya, tradisi, kehidupan sosial, dan ekonomi suatu masyarakat. Inilah yang menyebabkan sejarah kerap disebut sebagai ibu ilmu-ilmu sosial.
Sejarah, kisah, maupun tarikh merupakan rekaman penting alam kesadaran umat manusia. Memahami sejarah berarti memahami keberadaan tempat diri kita tinggal, hidup, dan bergerak menuju. Sejarah maupun kisah bukanlah sebatas pelajaran menghapal ‘fakta mati’ dari peristiwa-peristiwa yang berlalu. Sejarah seringkali dimaknai sebatas kronik, yakni daftar peristiwa-peristiwa yang terjadi menurut deret hitung peristiwa itu terjadi. Yang luput dari perhatian kita adalah bahwa kajian sejarah sejatinya terkait erat dengan kejadian-kejadian manusia masa lalu yang berikutnya berimplikasi pada sejarah umat masa kini dalam membangun masa depan peradabannya.
Padahal, kita membutuhkan sejarah bukan untuk mengatakan kepada kita apa yang terjadi pada masa silam atau menjelaskan masa lalu, tapi membuat masa silam itu hidup sehingga ia bisa menjelaskan kepada kita dan membuat masa depan menjadi mungkin. Kajian sejarah memuat sejarah tentang apa yang telah diperbuat manusia tentang dirinya dalam konteks peradabannya. Ia adalah riwayat petualangan moral manusia, tentang keputusan baik dan buruk, dan tentang pertimbangan yang (semuanya) disibakkan dalam konsekuensi-konsekuensinya.
Al-Quran menjadikan kisah dan sejarah umat terdahulu sebagai salah satu muatan manhaji-nya. Kisah umat terdahulu diungkap Al-Quran sebagai dokumen sejarah paling autentik sehingga mampu menjadi fakta berbicara (shurah nathiqah) pada umat manusia di kemudian hari. Kisah kaum ‘Ad, Tsamud, Firaun, Abrahah, dan kisah lain dalam Al-Quran seyogianya bermakna pesan penting bagi umat masa kini sekaligus menjadi isyarat penegur hati bahwa pembangkangan pada perintah Allah selalu berakhir kehancuran dan kebinasaan. Allah SWT berfirman, “Kami menceritakan kepadamu kisah paling baik dengan mewahyukan Al-Quran kepadamu, dan sungguh kamu sebelum (Kami mewahyukan) termasuk orang-orang yang belum mengetahui.” (QS. Yusuf [12]: 3).
Generasi umat manusia dari masa ke masa memang berubah-ubah, namun kesadaran dan watak kemanusiaan tidak jauh berbeda. Belajar kehidupan dari suatu periode dan generasi umat manusia berarti belajar tentang watak manusia itu sendiri. Firaun personal berikut kekuasaannya memang telah lama tiada, tapi gaya dan karakternya sangat mungkin akrab dengan para penguasa kita. Mungkin Qarun dan kekayaannya telah lama musnah, namun perilakunya masih lekat dengan konglomerat kita. Bisa jadi Hamman beserta keangkuhan ilmunya telah terkubur, tapi egoisme intelektualnya terwariskan dari generasi ke generasi. Dalam konteks inilah kenapa dalam ilmu tafsir dikenal ungkapan, al-‘ibrah bi ‘umum al-lafzhi la bi khushushi as-sabab. Nilai sejarah terletak pada keumuman pesan dan bukan karena kekhususan sebab-sebab turunnya ayat.
Kisah generasi manusia masa lampau hanyalah simbol sekaligus saksi sejarah. Allah mengurai sejarah untuk diingat, bukan sebatas dokumen mati. Kisah orang-orang dulu ditulis agar menjadi pelajaran berharga bagi umat berikutnya. Jadilah pengibrah yang baik. Ciri peradaban gemilang adalah mampu melampaui kenyataan yang terjadi pada hari kemarin dan dijadikan pelajaran hari ini. Firman-Nya, “Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah. Maka berjalanlah di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (Al-Quran) adalah penerang bagi seluruh umat manusia, petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran [3]: 137-138).
Dalam kaitannya dengan fungsi kisah dalam Al-Quran, Prof. Dr. Baligh Fathi Mahmud (2006), menyebut empat hikmah yang bisa kita petik dari penyampaian pesan Al-Quran melalui metode pengisahan. Pertama, sebagai nasihat dan ibrah bagi mereka yang mau berpikir. Kedua, meyakini kebenaran kisah-kisah yang disampaikan sehingga tidak memiliki konsekuensi fiktif. Ketiga, mengambil mana yang boleh dan terlarang. Keempat, sarana menempa hidayah di dunia dan meraih magfirah di akhirat.
Kisah dan sejarah adalah cermin. Cermin berfungsi memotret secara jujur watak manusia dan kehidupan, bagaimana memahamkan kehidupan berawal dan berakhir. Sebagai cermin, kisah dan sejarah selalu berbicara apa adanya mengenai siapapun. Bagi para penguasa, kisah tentang penguasa menjadi cermin fungsi dan amanah kekuasaan. Bagi para ulama, kisah menjadi cermin untuk tidak menyelewengkan amanah keilmuan. Bagi rakyat jelata, kisah menjadi cermin nikmatnya memiliki penguasa adil dan bijaksana.
Perlu kearifan dan kecerdasan spiritual untuk sepenuhnya sadar dan jujur menyelami kisah-kisah yang dialami bangsa-bangsa terdahulu agar menjadikan kita berpikir, berubah, dan berbenah diri. Kealpaan kita menangkap pesan dan misi sejarah mengakibatkan kehancuran berupa kiamat kecil bagi peradaban manusia. Allah berfirman, “Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka mau berpikir.” (QS. Al-A’raf [7]: 176).
Agaknya kita hanya bisa memetakan masa depan kita dengan jelas dan bijaksana hanya bila kita mengetahui masa lalu yang telah membawa kita kepada hari ini. Sayangnya mata pelajaran sejarah hari ini ada kecenderungan mulai dipandang remeh oleh kita sendiri, pemilik sejarah peradaban gemilang. Kebutaan dalam memandang dan memahami sejarah, jelas berpengaruh pada tumpulnya generasi muda kita dalam menangkap semangat zaman (spirit of the time). Tanpa pengajaran sejarah yang serius, jangan harap tunas-tunas muda umat yang lahir dan paham dengan karkater umat sekaligus sadar akan posisinya selaku pemilik masa depan.
Marilah kita beningkan pikiran untuk sama-sama becermin pada kisah dan fakta sejarah manusia masa lampau. Belajar perbaikan dari orang-orang pilihan Allah, dan belajar menghindari kejahatan dari mereka yang menjadi binasa akibat ulah onar mereka di muka bumi. Jika kita sebagai individu, masyarakat, dan bangsa ingin berbenah diri, sudah selayaknya kita mengusung kejujuran batiniah untuk memotret diri dengan cermin kisah dan sejarah. Bukankah sejak kecil, orang tua kita juga sering memaparkan ragam cerita, dongeng, dan hikayat sebelum tidur tiada lain sebagai pesan pengantar nilai bagi kita setelah kelak dewasa. Dongeng ternyata termasuk sarana efektif membekaskan jejak nilai dan akhlak mulia bagi seorang anak. Apabila cerita fiktif saja membekas dalam ingatan dan kesadaran moralitas kita, apalagi kisah-kisah dan sejarah nyata yang terekam utuh dalam Al-Quran maupun sirah Rasulullah saw?***

Muhammad, Nabi & Rasûl Terakhir

Allâh Swt., berfirman, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasûlullâh dan khâtamañabiýîn (penutup para Nabi). Dan adalah Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab [33] :40) ayat tersebut menjelaskan hakikatnya Muhammad bin Abdillâh bin Abdil Muthallib dengan tiga ciri; Pertama, Muhammad bukanlah bapak perseorangan, bermakna beliau merupakan bapak dunia, bapak seluruh orang, bukan bapak bangsa Arab terlebih bapaknya orang Timur Tengah. Kedua, Muhammad adalah Rasûlullâh (utusan Allâh) yang ditugaskan untuk menyampaikan risalah-Nya. Hal ini untuk mencounter prasangka diantara orang Arab (waktu itu) yang menganggap beliau seorang ahli sya’ir bahkan lebih buruk memandang beliau sebagai tukang sihir. Ketiga, Muhammad adalah Nabi terakhir yang diutus Allâh.

Diantara sekian banyak ayat Alqurân hanya satu ayat di atas (Qs. Al-Ahzab [33] :40) yang menjelaskan bahwa Muhammad merupakan Nabi terakhir. Ini menunjukkan kekhususan Nabi Muhammad Saw., yang tidak ada lagi Nabi sesudah beliau.

Jika seribu pertanyaan mengalir mempertanyakan; “Kenapa” Allâh menjadikan Muhammad sebagai bapak dunia, “Kenapa” Allâh mengutus Muhammad sebagai Rasûl, dan “Kenapa” Allâh menjadikan Muhammad sebagai Nabi terakhir. Tentu pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak akan ada habisnya. Otak dan pengetahuan manusia terbatas dan tidak akan sampai untuk memahami segala pertanyaan itu. Cukup mengimani apa yang diwahyukan Allâh. Oleh karenanya di akhir ayat tersebut Allâh menutup dengan, “Dan adalah Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Ahli bahasa memberikan makna terhadap kalimat “khâtama” dengan Al-Istîtsâqu wal man’u (Lihat Lisânul ‘Arab Bab Kha), artinya memastikan dan menolak sesuatu. Dengan demikian Alqurân menyebutkan Muhammad sebagai “khâtamañabiýîn” artinya pasti dan tidak ragu bahwa Muhammad sebagai Nabi terakhir dan menolak orang yang mengaku Nabi di kemudian hari.

Para mufasir mengartikan khâtamañabiýîn dengan tiga tafsiran; pertama, Khâtamañubuwata, artinya Allâh telah menutup kenabian. Kedua, Allâh menyempurnakan kenabian dan Rasûl sejak awal sampai akhir dan disempurnakan dengan ditutupnya oleh Muhammad Rasûlullâh Saw. Ketiga, Muhammad paling akhir di antara para Nabi Allâh yang diutus.

Ibnu Abbas, sahabat sekaligus ahli tafsier terkemuka di zaman Nabi mengomentari ayat di atas, “Seolah-olah Allâh berkehendak dengan firman-Nya, kalaulah Allâh tidak menutup nabi-nabi dengan kenabian Muhammad, seolah Allâh berfirman, pasti Aku jadikan seorang Nabi di antara anaknya. Tapi Allâh Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu. Kenapa tidak menjadikan salah satu anak Muhammad sebagai Nabi dan Rasûl karena memang Allâh berkehendak Muhammad sebagai Nabi terakhir.”

Salah satu logika yang digunakan Ibnu Abbas adalah bukti sejarah yang menunjukkan bahwa tiga putra beliau; dua dari khadijah, pertama, Qasim sehingga beliau Saw., dipanggil Abul Qasim, lahir sebelum beliau diangkat menjadi Nabi dan meninggal dalam usia 2 tahun. Kedua, Abdullah yang dijuluki Ath-Thayyib dan Ath-Thahir karena ia dilahirkan dalam Islam meninggal dunia setelah lahir beberapa hari. Ketiga, putra dari Mariah Qibtiyah bernama Ibrahim meninggal dalam usia 16-18 bulan (Al-Wafa, hal 536-537). Kalaulah putra beliau Saw., hidup sampai dewasa tidak mustahil dikemudian hari orang akan mendewakan salah satunya dan mengangkatnya sebagai Nabi. Tapi Allâh mentakdirkan tidak menjadikan seorang pun hidup sampai dewasa.

Begitu banyak hadits yang mempertegas bahwa beliau adalah Nabi terakhir. Antara lain dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim. Rasûl menyatakan, “Perumpamaanku dibandingkan dengan nabi-nabi sebelumku, bagaikan seorang laki-laki yang sedang membangun rumah (akidah). Masing-masing dari laki-laki itu memperbagus dan memperindah bagaimana supaya rumah (akidah) itu kuat. Dan aku adalah Nabi yang paling terakhir diantara nabi-nabi.”

Hadits kedua menjelaskan, “Aku diberi kelebihan enam hal dibandingkan dengan Nabi lain; (1) Aku diberi kumpulan ajaran-ajaran. (2) Aku diberi pertolongan oleh Allâh dengan rasa takut pada musuh sebelum tentaraku datang. (3) Ghanimah dihalalkan bagiku. (4) Tanah dijadikan tempat bersuci dan bersujud untukku. (5) Aku diutus untuk seluruh makhkluk. (6) Dan nabi-nabi ditutup olehku.”

Hadits ketiga, dipertegas lagi oleh Rasûlullâh Saw., “Aku punya banyak nama; Muhammad, Ahmad, Al-Mâhi (karena Allâh menghapus kekufuran dariku), Al-Hâsir (orang-orang dikumpulkan pada telapakku, dan Al-‘Âkib (karena tidak ada Nabi sesudahku).”

Terhadap ayat Alqurân dan hadits-hadits di atas, Ibnul Jauzi memberikan penafsiran, “Agar orang-orang tahu siapa yang mengaku Nabi setelah Muhammad maka orang itu diberi gelar; Pembohong, Pengada-ada, Dajjal, Sesat dan Menyesatkan sekalipun orang itu mendatangkan bermacam-macam jenis sihir agar orang lain percaya bahwa dirinya Nabi.”

Melalui firman-Nya, Allâh mengisyaratkan akan adanya pendusta (orang) yang mengaku sebagai Nabi dan Rasûl baik pada zaman Nabi Saw., dan masa sesudahnya. Allâh Swt., berfirman, “Apakah akan Aku beritakan kepadamu, (satu berita yang besar dan menggemparkan yang hakikatnya tidak perlu terjadi. Karena yang dikatakan An-Naba adalah berita besar berbeda dengan Al-Khabar. Berita besar akan adanya orang yang akan mengaku Nabi dan Rasûl yang pada hakikatnya mereka mendapat bisikan-bisikan Syaitan) kepada siapa syaitan-syaitan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaitan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta.” (Qs. Asy-Syu’ara’ [26]:221-223)

Ayat di atas merupakan salah satu kemu’jizatan Alqurân, karena mengungkap (isyarat) suatu hal yang ghaib tentang orang yang mengaku Nabi; baik pada masa Nabi dan pada masa sesudahnya (sekarang).

Ibnul Jauzi, Shâwi juga Al-Maraghi mencatat tidak kurang 8 orang yang mengaku Nabi disaat Nabi Saw., masih hidup. Diantaranya, (1) Aswad Al-Ansi di Yaman, (2) Musailamah Al-Kadzâb di Yamamah, (3) As-Sâti’ bin Rabi’ah, (4) Abdullâh bin Abdi Jabhari As-Sahni, (5) Khubairah bin Abi Wahab Al-Mahzumi, (6) Musâfi’ bin Abdil Manâf, (7) Abu Izzah Amr bin Abdillâh Al-Jamhi (8) Umayyah bin Abdi Sholah Ats-Tsaqofi yang menyatakan, “Aku katakan seperti perkataan Muhammad.” Mensejajarkan dirinya dengan Rasûl seolah-olah bahwa dirinya dapat menjadi Nabi dan Rasûl dengan sendirinya. Mereka semua mengaku Nabi pada saat Nabi Muhammad Saw., masih hidup.

Alqurân sudah dengan tegas menjelaskan, Alhadits dengan detail menjabarkan, para mufasir mempertegas dengan lima nama bagi pengaku Nabi; Pembohong, Pengada-ada, Dajjal, Sesat dan Menyesatkan. Jika seandainya ada orang yang mengaku Nabi setelah kenabian Muhammad tentu bukan Nabi utusan Allâh tetapi Nabi liar.

Jika kita bercermin pada Alqurân, kedatangan dan pengakuan orang-orang yang mengaku sebagai Nabi tentu tidak akan asing bagi orang mu’min karena Alqurân sendiri mengisyaratkan akan munculnya orang-orang yang mengaku sebagai Nabi sekaligus menjelaskan hakikatnya mereka mendapatkan bisikan Syaitan.

Ibnul Jauzi mencatat sebuah peristiwa tentang buktinya Alqurân mengungkap sesuatu yang ghaib setelah Nabi wafat. Pada abad 13 H tepatnya pada tahun 1252 s.d. 1326 H seorang Imam Qadian (Punjab-Pakistan-India) pada saat itu bernama Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (Lahir, 13 Februari 1835 – Wafat, 26 Mei 1908 M, Wikipedia), Hazrat merupakan panggilan kehormatan dari pengikutnya yang disebut Ahmadiyah sedangkan nama “Mirza” melambangkan keturunan bangsawan dari Turki-Moghul. Dia menyatakan diri sebagai Nabi dan Rasûl dengan menyebut dirinya Al-Masih Al-Mau’ûd. Keyakinan yang diajarkannya bahwa kenabian itu belum putus akan terus berlangsung.

Kata “Unabbi`u”, pada Qs. Asy-Syu’ara’ [26]: 221 di atas merupakan bentuk fi’il mudhari yang bermakna continuitas, akan terus berlangsung orang mengaku Nabi; baik di zaman Nabi juga pada masa yang akan datang (sekarang dan nanti).

Oleh karenanya, setelah Allâh menyebutkan bahwa Muhammad Nabi dan Rasûl terakhir (Qs. Al-Ahzab [33]:40), Allâh menyambung dengan memberikan petunjuk sebagai sikap preventif untuk mencounter dari orang-orang yang mengaku Nabi setelah Muhammad Saw., untuk memperkokoh keimanan dan senantiasa mengingat (dzikir) kepada Allâh, “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allâh, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-Ahzab [33]:41-43)

Karena itulah kapanpun dan dimanapun kita mesti memperkokoh keimanan, bercermin pada Alqurân, berdialog dengan Allâh karena kalam-kalam Allâh tertuang di dalam Alqurân dan Alqurân memberikan jawaban. [Assaha]

Ringkasan Khutbah Jum;at
Masjid Persatuan Islam Pajagalan-Bandung, 16 November 2007
Khatib: Drs. H. Dedeng Rosyidin, M.Ag
[Staf Bidgar Kurikulum PPI 1-2, Dosen UPI, Pakar Pendidikan]
Ciri Kenabian & Palsunya Pengaku Nabi
Posted by Error! Hyperlink reference not valid. di Rabu, November 14, 2007
.fullpost{display:inline;}
Pada tahun ke-6 Hijriah para sahabat menyertai Rasûlullâh Saw., berangkat ke Makkah untuk melaksanakan umrah. Namun belum sampai di tengah perjalanan mereka dihadang kaum Quraisy yang melarang mereka memasuki ke kota Makkah.

Terjadilah perjanjian Hudaibiyah. Diantara isinya adalah; pertama, gencatan senjata, tidak akan saling menyerang untuk jangka waktu 10 tahun. Kedua, untuk sementara orang-orang Islam tidak boleh memasuki kota Makkah. Ketiga, orang-orang Makkah (Quraisy) yang ada di Madinah harus dikembalikan tapi orang-orang Madinah yang berada di Makkah tidak boleh dikembalikan ke Madinah dan ini dianggap salah satu yang merugikan umat Islam, namun semuanya diterima dan disetujui oleh Rasûlullâh Saw.

Secara tidak langsung isi perjanjian itu merupakan kekalahan total bagi orang-orang Makkah (Quraisy). Pasca Perjanjian Hudaibiyah, umat Islam bertambah bebas berda'wah melebarkan sayapnya kesebelah utara sampai ke Syria dan Mesir lalu kesebelah selatan bahkan kesebelah timur dan lain sebagainya.

Pasca Perjanjian Hudaibiyah, orang-orang Quraisy melakukan perjalanan niaga seperti yang diungkapkan Alqurân, “Li`îlâ fîquraisyin, îlâfihim rihlatasy syitâ`i wash shaif.” Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan panas. (Qs. Alquraisy [106]:1-2). Mereka berniaga kesebelah utara (Syam) dan bertepatan pada saat itu pemimpin Romawi, Kaisar Heraklius sedang melaksanakan nadzar. Dan saat itu bertepatan pula surat da'wah Rasûlullâh Saw., menyebar ke beberapa negara termasuk ke negara Romawi. Saat sampai di Syam, kaisar Heraklius telah menerima surat da'wah Rasûlullâh Saw.

Ketika dia mendengar kabar bahwa ada orang Makkah sedang berada di Syam, dia memerintahkan tentaranya untuk memanggil orang-orang Quraisy. Pada saat itu Abu Sufyan dan para pedagang lainnya menghadap atas perintah kaisar. Heraklius bertanya, “Siapakah diantara kalian yang paling dekat nasabnya dengan laki-laki yang mengaku Nabi ini?”. Tidak ada yang menjawab kecuali Abu Sufyan. “Sayalah yang paling dekat nasabnya diantara mereka!” Kaisar memerintahkan untuk mendekatkan Abu Sufyan kepadanya dan menempatkan yang lain di belakangnya. Sehingga dengan cara seperti itu tidak ada kesempatan bagi Abu Sufyan dan kaumnya untuk melakukan konspirasi kebohongan. “Sungguh aku akan bertanya kepada orang ini, jika dia berdusta kepadaku dustakanlah oleh kalian.” Waktu itu dalam benaknya Abu Sufyan berkata, “Sungguh demi Allah seandainya tidak akan menimbulkan rasa malu dikemudian hari orang-orang akan mendustakan aku, aku akan berdusta tentang Muhammad.”

Setelah itu barulah terjadi tanya jawab antara Heraklius dan Abu Sufyan; “Bagaimana nasab orang yang mengaku Nabi itu pada kalian?” Abu Sufyan menjawab, “Dia bukan orang lain, dia seketurunan dengan kami.” “Apakah ada orang lain yang pernah mengaku Nabi sebelum dia?” “Tidak ada! Baru dia yang mengaku Nabi.” “Adakah diantara leluhurnya yang pernah menjadi raja, pernah menjadi pemimpin?” “Tidak ada!”. “Siapa pengikutnya, apakah orang-orang mulia atau orang yang lemah?” “Yang disayangkan pengikutnya adalah orang-orang lemah.” Tapi justru kaisar Romawi memiliki pandangan berbeda. “Justru itulah para pengikut Rasûlullâh. Umumnya bukan orang-orang yang kuat tetapi para pengikutnya itu orang-orang yang lemah!” Heraklius melanjutkan, “Para pengikutnya itu bertambah atau berkurang?” “Bertambah.” “Apakah ada diantara pengikut Muhammad yang keluar karena benci kepada agamanya bukan karena sentimen kepada orangnya?” “Tidak pernah ada!” “Pernahkah kalian menuduh Muhammad itu berdusta sebelum dia menyatakan dirinya Nabi?”
“Jangankan menuduh dusta bahkan kami pernah memberikan gelar terhormat Al-Amien, orang jujur, terpercaya!” “Apakah dia suka ingkar janji?” “Tidak! Seingatku dia tidak pernah ingkar janji!” “Apakah kalian pernah berperang dengan dia?” “Benar! Sudah beberapa kali sampai sekarang kami berperang dengannya, bahkan setiap kali dia memimpin perang maka aku pula yang memimpin perang dari pihak Quraisy.” “Bagaimana peperangannya?” “Biasa saja, sewaktu-waktu dia yang unggul, dan sewaktu-waktu kami yang menang.” “Apa yang dia perintahkan kepada pengikutnya?” “Dia memerintahkan untuk jujur, menyambungkan silaturahim, shalat, dan menahan diri dari perkara-perkara yang syubhat.”

Setelah sekian lama mengajukan beberapa pertanyaan, kaisar Romawi itu menyatakan, “Inilah pemimpin umat zaman sekarang sudah muncul!”

Dari pernyataan Heraklius tersebut dapat kita pahami bahwa pengakuan dan pernyataan sebagai Nabi dari seseorang bukan hanya diakui oleh dirinya sendiri tetapi diakui juga oleh orang lain yang mengetahui masalah kenabian. Kaisar Romawi bukanlah orang Islam, dia seorang pendeta (uskup) namun secara jujur dia mengakui bahwa Muhammad Rasûlullâh adalah pemimpin umat yang telah diungkapkan di dalam injil dan taurat.

Ciri-ciri Nabi bukanlah melarang tetapi yang pertama adalah memerintah; memerintah shalat bukan melarang shalat! Dan satu saat akan timbul keanehan ada orang yang mengaku dirinya Nabi tetapi menunjukkan kebohongan dengan larangan; melarang shalat, shaum dan melarang yang lain-lainnya.

Sudah merupakan sunnatullâh dan sunnatulanbiyâ` yang berkesinambungan bahwa kesemuanya adalah, Innad dîna indallâhil Islâm. Secara syariat tauhidiyah akan sama dikalangan para Rasûlullâh hanya kaifiat syar'iyah yang berbeda. Dari segi shalatnya sama; di dalam Taurat dan Injil ada perintah shalat, demikian dalam Alqurân. Tetapi justru pada akhir-akhir ini ada Nabi yang melarang shalat. Inilah yang menunjukkan kepalsuan dari orang yang mengaku dirinya Nabi.

Abu Sufyan menjawab semua pertanyaan itu jauh sebelum dia masuk Islam, bahkan saat itu dia merupakan musuh besar Islam. Dia baru memeluk Islam setelah Fathu Makkah. Tetapi secara jujur dia menjawab pertanyaan-pertanyaan itu apa adanya. Karena demikianlah kenyataannya Rasûlullâh Muhammad Saw.

Maka dalam hal ini wajar apabila ada yang mengatakan Heraklius itu masuk Islam tetapi pendapat yang lebih kuat menyatakan, dia tidak masuk Islam karena pada akhirnya dia merasa berat untuk meninggalkan kerajaannya.

Pada suatu hari ada dua orang sahabat berbincang-bincang. Salah seorang sahabat itu bertanya, “Aku mendengar sahabatmu tadi malam menerima wahyu?” “Benar!” “Apa yang dia terima?” Lalu dibacakan surat Alkautsar. Kemudian dia menjelaskan bahwa dia pun tadi malam menerima wahyu yang hampir sama lalu dia membacakan “seperti” halnya surat Al-Kautsar. Lalu dia bertanya, “Apakah kamu percaya kepada yang aku terima?” Sahabat itu dengan tegas menjawab. “Aku percaya bahwa engkau adalah pendusta!”

Pada zaman Rasûlullâh pun telah ada kejadian-kejadian seperti ini, bahkan dikemudian hari tidak mustahil akan lebih banyak lagi, jadi tidak perlu aneh, yang aneh dan sangat disayangkan adalah kenapa orang-orang yang telah maju cara berpikirnya tetapi masih mengikuti pola berpikir yang mundur kebelakang.

Ada seorang sahabat yang setiap kali bertemu dengan Rasûlullâh Saw., beliau berpaling dan memalingkan wajah darinya. Sahabat ini akhirnya secara terus terang bertanya kepada Rasûlullâh. “Ya Rasûlullâh ada apa gerangan, apakah engkau benci aku, apakah tobatku ini tidak diterima Allâh, karena aku merasa setiap bertemu dengan engkau, engkau selalu berpaling dan memalingkan muka.” Rasûlullâh dengan tegas menyatakan, “Aku bukan benci engkau tetapi apabila melihat wajah engkau terlintas dan terbayang dalam pikiranku wajah pamanku yang engkau bunuh.” Sahabat inilah yang bernama Wahsyi yang telah membunuh paman Rasûlullâh, Hamzah.

Akhirnya Wahsyi bertekad, “Satu saat aku harus membunuh orang yang sangat membenci Islam. Kalau dulu aku membunuh orang yang sangat dicintai oleh Rasûlullâh, satu saat aku harus bisa membunuh salah seorang yang sangat dibenci oleh Rasûlullâh.” Dan dikemudian hari Wahsyi berhasil membunuh orang yang pertama mengaku Nabi yaitu, Musailamah Al-Kadzab.

Apa yang dilakukan Wahsyi tidak mendapatkan hukum qisos tetapi justru mendapatkan kehormatan dalam arti bila ada orang Islam sanggup membunuh orang yang mengaku Nabi setelah Nabi Muhammad maka itu bukanlah satu kesalahan tetapi satu kehormatan. Seandainya tidak membunuh jiwanya yang dibunuh itu adalah keyakinannya.

Mudah-mudahan kisah sejarah di atas menggambarkan benarnya Rasûlullâh dan bohongnya orang-orang yang mengaku Rasûlullâh. [Assaha]

Ringkasan Khutbah Jum'at
Masjid Persatuan Islam Pajagalan Bandung
Khatib: KH. Ikin Shodikin (Ketua Dewan Penasihat PP Persis)

Isra’ Mi’raj

Peringatan Isra’ Mi’raj Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam


Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Segala puji bagi Allah. Semoga shalawat dan salam tetap terlimpahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Amma ba’du…

Tidak diragukan lagi bahwa Isra’ - Mi’raj merupakan salah satu tanda dari Allah yang menunjukkan kebenaran Rasul-Nya Muhammad saw dan keagungan kedudukannya di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Juga membuktikan bahwa Allah Maha Kuasa dan Maha Tinggi diatas semua makhluk-Nya.

Firman Allah Ta’ala (artinya): "Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat". (Al-Isra’ :1).
Diriwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau telah dimi’rajkan (dinaikkan) ke langit dan dibukakan bagi beliau pintu-pintunya, hingga sampailah beliau ke langit yang ke tujuh. Kemudian Allah memfirmankan kepada beliau apa yang dikehendaki-Nya dan mewajibkan kepadanya shalat lima waktu. Semula Allah mewajibkan shalat lima puluh waktu, tetapi Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam masih terus kembali kepada-Nya meminta keringanan sehingga akhirnya dijadikan lima waktu saja. Namun, walaupun yang diwajibkan lima waktu saja tetapi pahalanya tetap seperti lima puluh waktu, karena kebaikkan itu akan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Kepada Allah-lah kita haturkan puji dan syukur atas segala nikmat-Nya.

Tentang malam saat terjadinya Isra’ Mi’raj itu tidak ada keterangan ketentuannya dalam hadits shahih. Semua riwayat mengenai ketentuannya bukan berasal dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, menurut para ahli ilmu hadits. Hanya Allah yang mengetahui segala hikmahnya bila manusia lupa akan malam tersebut.

Andaikata ada hadits shahih yang menetapkan malam Isra’ Mi’raj, tetaplah tidak boleh bagi kaum muslimin mengkhususkan malam itu dengan ibadah-ibadah tertentu. Maka mereka tidak boleh mengadakan acara peringatan apapun, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihin wa sallam dan para shahabat tidak pernah mengadakan suatu acara peringatan dan tidak pula mengkhususkan ibadah apapun pada malam tersebut.

Jika acara peringatan Isra’ - Mi’raj disyari’atkan, pasti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskannya kepada umat, baik melalui ucapan maupun tindakan. Begitu pula, jika pernah dilakukan oleh beliau, pasti diketahui dan dikenal, dan tentunya disampaikan oleh para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum kepada kita. Karena mereka telah menyampaikan dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam segala sesuatu yang dihajatkan umat. Mereka tidak pernah mengabaikan urusan sedikitpun dalam agama. Bahkan mereka adalah para pemuka dalam segala kebaikan. Maka, andaikanta acara peringatan malam Isra’ - Mi’raj ada tuntunannya, niscaya para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum akan lebih dahulu melaksanakannya.

Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling tulus terhadap umat manusia, beliau telah menyampaikan risalah dan menjalankan amanat dengan sempurna. Oleh karena itu, andaikata mengagungkan dan memperingati malam Isra’ - Mi’raj termasuk ajaran agama Islam, tentu tidak akan dilupakan dan disembunyikan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, karena hal itu tidak ada jelaslah bahwa memperingati dan mengagungkan malam tersebut bukan berasal dari ajaran Islam sama sekali. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyempurnakan agamaNya bagi umat ini, mencukupkan nikmatNya kepada mereka, dan menolak siapa saja yang berani mengadakan bid’ah (perkara baru) dalam agama yang tidak dibenarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya): "… Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu sebagai agama bagimu …". (Al-Ma’idah : 3)

"Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tidak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tetntulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh adzab yang amat pedih". (Asy-Syura : 21)

Dalam hadits-hadits shahih Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pun telah memperingatkan kita agar waspada dan menjauhkan diri dari bid’ah, serta beliau menjelaskan bahwa bid’ah itu sesat. Hal itu dimaksudkan menjadi peringatan bagi umatnya agar mereka menjauhinya dan tidak mengerjakannya, karena bid’ah itu mengandung bahaya yang sangat besar. Antara lain, diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya): "Barangsiapa mengada-adakan (sesuatu hal baru) dalam urusan (agama) kami, yang bukan merupakan ajarannya, maka akan ditolak".

Dalam riwayat Muslim disebutkan (artinya): "Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka (perbuatan) itu tertolak".

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, dari Jabir Radhiyallahu ‘Anhu, katanya (artinya): "Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehati kami dengan nasehat yang amat menyentuh, hati menjadi bergetar dan air mata berlinang karenanya. Maka kami berkata kepada beliau : "Wahai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, seakan-akan nasehat ini seperti nasehat orang yang akan berpisah, maka wasiatkanlah kepada kami". Beliau pun bersabda : "Aku wasiatkan kepada kalian agar selalu bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta patuh dan ta’at. Walaupun orang yang memerintah kalian itu seorang hamba (budak). Karena, sesungguhnya barangsiapa di antara kalian masih hidup akan menjumpai banyak perselisihan. Maka berpegang teguhlah kalian pada sunnahku dan sunnah para khulafa’ rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. Peganglah dan gigitlah dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah hal-hal baru (dalam agama), karena setiap hal baru itu bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat"." (Hadits riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Dan masih banyak hadits-hadits yang semakna dengan ini.

Para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum dan salaf shaleh juga telah memperingatkan kita agar waspada terhadap bid’ah serta menjauhinya. Hal itu, tiada lain, karena bid’ah merupakan tindakan menambahi agama dan syariat yang tidak diperkenankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu kaum Yahudi dan Nasrani, dalam tindakan mereka menambahi agama dan mengadakan hal-hal baru yang tidak ada dasar perintahnya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selain itu, berbuat bid’ah berarti menuduh agama Islam kurang lengkap dan tidak sempurna. Ini jelas merupakan kebatilan besar dan kemungkaran keji, serta bertentangan dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla (artinya): "… Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu,…". (Al-Maidah : 3).

Juga bertentangan dengan hadits-hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan kita dari perbuatan bid’ah dan agar menjauhinya.

Kami berharap semoga dalil-dalil yang telah kami sebutkan tadi cukup dan memuaskan bagi mereka yang mencari kebenaran dalam mengingkari bid’ah ini, yakni bid’ah peringatan malam Isra’ - Mi’raj, dan supaya kita sekalian waspada terhadapnya, karena sesungguhnya hal itu bukan dari ajaran Islam sama sekali.

Oleh karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan saling menasehati terhadap sesama muslim dan menerangkan apa-apa yang disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada mereka dalam agama serta mengharamkan penyembunyian ilmu, maka kami memandang perlu untuk mengingatkan saudara-saudara kami dari perbuatan bid’ah ini yang telah menyebar di berbagai belahan bumi, sehingga dikira sebagian orang sebagai ajaran dari agama.

Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita memohon, semoga Dia berkenan memperbaiki keadaan kaum muslimin semuanya, memberikan kepada mereka pemahaman dalam agama, melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk berpegang teguh dengan kebenaran dan menetapinya, serta meninggalkan segala yang bertentangan dengannya. Sungguh, Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Pemberi dan Berkuasa atas itu semua.

Semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba dan Rasul-Nya Nabi Kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarga dan para sahabatnya.

Dikutip dari terjemah tulisan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Dinukil dari Kitabnya At-Tahdziru Minal Bida’

Judul Asli: Peringatan Isra’ M’iraj Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam
Sumber: www.salafy.or.id
Peringatan Nuzulul Qur’an

Peringatan Nuzulul Qur’an, Bid’ah atau Sunnah?

Salah satu kemuliaan bulan Ramadhan karena pada bulan ini, Allah menurunkan Al Quran melalui malaikat Jibril kepada Nabiullan Muhammad SAW. Hal ini, dijelaskan oleh Firman Allah dalam Al Qur’an; “Bulan Ramadhan yang diturunkan di dalamnya Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). (QS. Al Baqarah:185)
Di ayat yang lain, Allah menegaskan bahwa Al Qur’an diturunkan pada suatu malam yang mulia. “Sesungguhnya kami menurunkannya pada Lailatul-qadr, dan tahukah kamu apa Lailatul-qadr itu? Lailatul-qadr itu lebih baik dari seribu bulan. (QS. Al Qadr:1-3)
Ayat-ayat di atas menegaskan kepada kita betapa kemulian bulan Ramadhan dan Al Qur’an. Selain itu, ayat ini juga menjadi dalil bagi sebagian kaum muslimin untuk mengadakan peringatan Nuzulul Al Qur’an (hari turunnya Al Qur’an) pada setiap tanggal 17 Ramadhan, dengan berbagai rutinitas, seperti; zikir dan doa bersama, tahlilan, barasanji, serta berbagai rutinitas lainnya. Bagi mereka, rutinitas itu diadakan sebagai ungkapan syukur dan kecintaan mereka terhadap Al Qur’an.
Nuzulul Qur’an
Namun, timbul pertanyaan, apakah peringatan Nuzulul Al Qur’an itu biasa dilakukan oleh Rasulullah SAW beserta sahabatnya, serta para salafussaleh sebagai generasi terbaik, serta apakah Al Qur’an diturunkan pada tanggal 17 Ramadhan? Pertanyaan ini perlu sebab jangan sampai kita terjatuh pada perbuatan bid’ ah, yakni perbuatan dalam agama yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, dan mengetahui hari diturunkannya Al Qur’an berdasarkan Al Qur’an dan Hadits.
Menurut, para ulama, bahwa peringatan Nuzulul Al Qur’an sebagaimana yang sering dilakukan oleh kaum muslimin sekarang ini, tidak pernah di contohkan oleh Rasulullah SAW, sahabat berserta salafussaleh. Padahal, mereka sangat cinta terhadap Al Qur;an. Namun, kecintaan mereka diaktualisasikan dan diungkapkan dengan rajin membaca, mempelajari, menelaah serta mengamalkan Al Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, tanggal 17 Ramadhan yang diperingati sebagai Nuzulul Al Qur’an, juga tidak mempunyai dalil dan dasar, baik dalam Al Qur’an, maupun dalam hadits yang shahih. Padahal, dalam berbagai perbuatan dan amalam umat Islam, yang berhubungan dengan ibadah harus bersumber dari Al Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW.
Pada ayat di atas tadi, dijelaskan bahwa Al Qur’an diturunkan pada malam Lailatul qadr. Sedangkan, dibanyak hadits shahih dijelaskan bahwa sesungguhnya malam Lailatul qadr itu diturunkan di malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir.
Salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim Rasulullah SAW bersabda; “Sesungguhnya, Lailatul qadr itu turun pada malam-malam ganjil pada sepuluh malam terakhir di Ramadhan” (HR. Muttafaqun’alaihi). Hadits ini menegaskan bahwa, sangat mustahil Al Qur’an diturunkan pada tanggal 17 Ramadhan sebagaimana yang sering diperingati kaum muslimin sebagai hari Nuzulul Qur’an.
Berdasarkan dalil-dalil baik dari Al Qur’an dan sabda Rasulullah SAW, maka seharusnya kaum muslimin, tidak lagi mengadakan berbagai rutinitas untuk memperingati Nuzulul Al Qur’an. Selain perbuatan tersebut, termasuk perbuatan bid’ah, karena tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Hari peringatan tersebut, juga tidak sesuai dengan dalil, sebab Al Qur’an tidak diturunkan pada tanggal 17 Ramadhan, melainkan pada malam-malam ganjil di sepuluh Ramadhan terakhir.
Oleh karena itu, Rasulullah SAW mensunnahkan kepada umatnya untuk i’tikaf di masjid pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan. I’tikaf ini dilakukan untuk memperbanyak membaca Al Qur’an, memperbanyak doa, serta ibadah lainnya kepada Allah SWT. Sebab, siapa saja yang beribadah pada malam Lailatul qadr, maka ibadahnya lebih baik dari seribu bulan.
Fungsi Al Qur’an
Sesungguhnya hakekat kecintaan umat Islam terhadap Al Qur’an, ialah dengan membaca, mempelajari serta mengamalkan Al Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Al Qur’an, tidak hanya sekadar kitab suci bagi umat Islam. Akan tetapi, Al Qur’an harus menjadi pedoman hidup dalam kehidupan beragama dan masyarakat.
Oleh sebab itu, Al Qur’an sebagai kitab suci, yang diturunnkan oleh Allah Azza Wajallah di muka bumi ini, yang tidak hanya diperuntuhkan bagi umat Islam, tetapi juga bagi seluruh umat manusia. Salah satu tujuan dan fungsinya adalah sebagai petunjuk bagi manusia. Hal ini ditegaskan Allah dalam Firmannya di surat Al Baqarah: 185 sebagaimana yang telah di sebutkan di atas.
Sebagai petunjuk, maka Al Qur’an berisi hal-hal yang mengarahkan manusia menuju jalan keselamatan. Tidak hanya, dalam kehidupan dunia, tetapi juga kehidupan di akhirat, yang kekal dan abadi. Keselamatan hidup ini hanya akan didapatkan, jika, Al Qur’an dijadikan sebagai pedoman hidup dalam kehidupan sehari-hari.
Berbagai kerusakan yang terjadi di muka bumi, akibat semakin jauhnya umat manusia, terutama umat Islam dari pengamalan nilai-nilai Al Qur’an. Hal ini, berimplikasi terhadap kerusakan moral, yang ditandai dengan merajalelanya perbuatan maksiat, seperti; perbuatan zina, homoseks, pencurian perampokan, korupsi, dan berbagai kemaksiat lainnya, yang sudah membudaya di tengah-tengah masyarakat.
Padahal, jika umat manusia menjadikan Al qur’an sebagai petunjuk dan pedoman hidup. Manusia akan jauh dari perbuatan-perbuatan tercela, yang dapat mendatangkan murkanya Allah, baik di dunia berupa bencana alam yang silih berganti, serta berbagai penyakit yang sampai sekarang belum ditemukan obatnya, seperti; penyakit AIDS akaibat perbuatan zina.
Sedangkan, di akhirat pelaku-pelaku kemaksiatan itu akan dapat siksaan akibat dari perbuatannya. Siksa itu disesuaikan dengan kadar pelanggaran yang dilakukan oleh orang tersebut. Sesungguhnya, Allah Azza Wajallah akan membalas perbuatan mereka akibat kelalaian, serta jauhnya mereka dari Al Qur’an, Padahal, Al Qur’an selain sebagai petunjuk, Al Qur’an juga berfungsi sebagai pembeda, antara perbuatan yang baik, dan perbuat yang buruk.
Betapa mulia dan agung Al Qur’an , yang begitu besar manfaatnya bagi manusia, yang senantiasa menjadikannya sebagai pedoman hidup. Oleh karena itu, Allah SWT menjaga Kemurnian dan kemuliaan Al Qur’an dari tangan-tangan jahil manusia. Sebagaimana, yang ditegaskan dalam firman Allah SWT; “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur’an dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al Hijr:9). Kemurnian Al Qur’an ini, sekaligus membedakannya dengan kitab lain, seperti; Taurat, Zabur, serta Injil, yang tidak asli lagi karena telah diubah oleh pemeluknya.
Penjagaan Allah terhadap Al Qur’an semakin menambah keyakinan kaum muslimin untuk membaca, mempelajari dan mengamalkannya. Membaca dan mengamalkan Al Qur’an dalam kehidupan sehari sebagai bentuk aktualisasi dan bukti kecintaan terhadap Al Qur’an. Ini yang seharusnya dibudayakan di tengah-tengah kaum muslimin, bukan peringatan-peringatan dalam bentuk rutinitas, yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Apatah lagi, di bulan suci Ramadhan seharusnya menjadi momentum bagi umat Islam untuk kembali kepada Al Qur’an. Dengan memperbanyak membaca, , mengkaji Al Qur’an, serta menjadikan Al Qur’an sebagai pedoman hidup. Sehingga, di setiap nafas kita dapat berpegang teguh terhadap Al Qur’an, sesuai perintah Allah dalam Al Qur’an; “Dan berpegang teguhlah kamu pada tali Allah (Al Qur’an) dengan bersama-sama dan jangan berpecah belah”. (QS. Ali Imran: 103). Wallahu a’lam.
Diposting oleh boerts_islam di 17:41